Hak Wanita Harus Diperjuangkan Dimanapun dan Kapanpun - Hari Kartini 21 April 2023
21 APRIL 2023
HARI KARTINI
Haloo sobat sosialll!!!
Siapa yang pernah mendengar siapakah R.A. Kartini?
Ya, beliau adalah pahlawan perempuan NRI dalam memperjuangkan emansipasi perempuan pribumi.
Sobat sosial mau kenal lebih jauh tentang RA Kartini kan?!! Yuk simak!!
Raden Adjeng (RA) Kartini adalah keturunan bangsawan Jawa, putra dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Passionate. Ia lahir di Jepara, 21 April 1879. Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara dan merupakan putri sulung.
Sesuai dengan adat Jawa yang masih melekat, gelar bangsawan ini kemudian diubah menjadi Raden Ayu ketika menikah. Ayah Kartini bernama Raden Adipati Ario Sosroningrat putra Pangeran Ario Tjondro IV. Ibu Kartini bernama M.A Ngasirah. Ia sebenarnya adalah istri pertama namun sayangnya status tersebut tidak menjadikannya sebagai istri utama.
M.A Ngasirah hanyalah seorang gadis sederhana yang terlahir sebagai rakyat jelata. Dia adalah putri seorang kyai di Teluk Awur. Raden Adipati Ario Sosroningrat sudah jatuh cinta padanya. Meski berbeda kasta, cinta tak bisa memilih.
Statusnya yang bukan berasal dari keluarga bangsawan melanggar aturan kolonial Belanda. Aturan yang diterapkan Belanda mengharuskan seorang bupati harus memilih keluarga bangsawan sebagai pasangannya saat menikah. Hal ini tentu menyulitkan Ario untuk mengambil alih jabatan bupati Jepara bersama istri pertamanya. Ario memutar otak agar jabatan bupati tetap bisa dipegang tanpa harus melepas istri pertamanya.
Untuk tetap memenuhi kekuasaan kolonial, ayah Kartini pun menikah dengan Raden Adjeng Woerjan yang masih memiliki darah bangsawan dari Madura. Akhirnya ayah Kartini dapat mengambil bagiannya menjadi bupati setelah mematuhi peraturan Belanda. Tak lama setelah pernikahan keduanya, Ario diangkat menjadi Bupati Jepara bersamaan dengan lahirnya putri kecilnya, Kartini. Ario mendapatkan 2 kebahagiaan sekaligus yaitu jabatan dan keturunan.
Beruntung Kartini memiliki Pangeran Ario Tjondro IV, bupati pertama Jepara yang merupakan kakeknya. Ternyata kakeknya sudah terbiasa memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya, sehingga cara mengajarnya pun jauh dari kata konservatif. Karena keterbukaan hati sang kakek, Kartini berkesempatan belajar di ELS (Europese Lagere School) saat berusia 12 tahun.
Belajar di sekolah ini membuatnya belajar bahasa Belanda. Kecerdasan Kartini semakin terasah di dunia sekolah. Sayangnya keinginannya untuk bersekolah tidak bisa bertahan lama. Di usia 15 tahun, Kartini harus berhenti sekolah. RA Kartini harus tinggal di rumah karena dipingit seperti perempuan lain saat itu. Kartini juga tidak punya pilihan. Hal ini tentu saja membuatnya kesal. Untungnya, ia memiliki seorang teman di Belanda bernama Rosa Abendanon yang dapat diajak bertukar pikiran selama masa kurungannya.
Pertukaran pikiran dilakukan melalui korespondensi. Kefasihannya dalam berbahasa Belanda memudahkan kedua sahabat yang berbeda negara itu untuk berkomunikasi. Sebagai wanita yang cerdas, Kartini juga mempelajari pola pikir wanita Eropa. Surat kabar, majalah, dan bahkan buku dilahap habis.
Melalui apa yang dibacanya, Kartini mengetahui bahwa kehidupan perempuan Eropa dan perempuan Indonesia saat itu sangat berbeda. Di Indonesia, perempuan memiliki status yang rendah. Perempuan Indonesia tidak pernah mendapatkan kesetaraan, kebebasan, dan otonomi hukum serta kesetaraan.
Kondisi ini membuat Kartini sedih. Keinginan untuk memajukan nasib perempuan juga tumbuh di hatinya. Kartini merasa tergerak dan bertekad untuk mengubah nasib bangsanya. Pemikiran-pemikiran RA Kartini mampu menyedot banyak perhatian masyarakat saat itu, khususnya Belanda. Mereka tertarik dengan surat-surat yang ditujukan kepada orang Eropa yang ternyata merupakan gagasan perempuan pribumi.
Pemikiran RA Kartini mampu menggantikan pandangan orang Belanda terhadap perempuan pribumi pada masa itu. Mereka pun melepas topi atas pemikiran Kartini. Kartini dikagumi tidak hanya di dalam negeri, tetapi di seluruh negeri.
Setelah dipingit sejak usia 15 tahun, R.A Kartini akhirnya menikah di usia 24 tahun. Pada 12 November 1903, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat menikah dengannya. Namun sayangnya Kartini bukanlah istri pertama, melainkan istri keempat Bupati Rembang.
Ternyata suami Kartini bisa memahami jalan pikiran Kartini. Suaminya juga mendukung keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan. Keinginan Kartini semakin kuat dan membekas di hatinya. Dia tidak bisa lagi menahan keinginan untuk membebaskan para wanita. Surat-surat Kartini kebanyakan ditujukan kepada sahabatnya, Ibu Rose Abendanon Mandri, istri J.H. Abendanon. J.H. Abendanon, adalah Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Belanda. Dialah yang berperan penting dalam penerbitan buku-buku Kartini.
Usia Kartini saat rajin berkirim surat adalah 23 tahun. Kartini selalu bersemangat untuk menceritakan apa yang dilihat, dirasakan dan dipikirkannya. Kesempatan duduk di bangku sekolah membuat pemikiran Kartini menjadi luas dan terbuka. Kartini menuliskan semua yang dipikirkan dan dirasakannya, termasuk membicarakan kemesraan dan ras Tionghoa. Orang Tionghoa pada waktu itu hanya dijadikan tameng oleh Belanda terhadap kemarahan kaum pribumi dan juga dijadikan kambing hitam bagi birokrasi yang semrawut. Karena dianggap berbahaya, beberapa surat tentang Tionghoa akhirnya disensor oleh Abendanon.
Selain itu, Kartini juga membahas tentang kebijakan pemerintah Belanda dalam mengontrol perdagangan candu di Jawa. Kartini pun mengeluarkan kritik pedas atas kepindahan warga asal Jepara itu. Bahkan surat ini kembali disensor oleh Abendanon karena dianggap tidak layak dibuka. Buku Kartini dicetak ketika politik etis mulai bergulir, sedangkan Abendanon dikenal sebagai pendukung politik etis. Banyak yang menduga kelicikan Abendanon dalam menyortir surat-surat Kartini.
Namun, pada tahun 1987, surat lengkap Kartini diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) dengan judul 'Kartini: Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot' Ternyata ada sekitar 150 korespondensi. Pada tahun 1989, terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan. Dalam buku tersebut terungkap bahwa Abendanon telah mengurutkan huruf-huruf tersebut sebagai "sensitif" yang menurutnya tidak pantas untuk dilihat.
Bahkan, beberapa surat juga sengaja dirobek di bagian tertentu, terutama surat yang dianggapnya terlalu pedas atau menyudutkan pemerintah Belanda. Sementara itu, hanya surat yang menurutnya aman yang dikeluarkan. Tentu sangat disayangkan, karena ternyata surat-surat Kartini bukan hanya karena membahas feminisme, seperti yang diketahui banyak orang selama ini. Selain kontroversi surat-surat, penunjukan Kartini sebagai pahlawan juga menuai tentangan.
Banyak yang merasa Kartini terlalu berlebihan jika disebut sebagai pahlawan nasional. Pertama, Kartini hanya berperang di daerah Rembang dan Jepara dan kedua, Kartini tidak pernah angkat senjata seperti Cut Nyak Dien atau Christina Martha Tiahahu yang ikut berperang. Sikap Kartini yang pro-poligami tampaknya juga bertolak belakang dengan pemikirannya sebagai aktivis emansipasi wanita. Namun, mereka yang pro-Kartini berhasil meyakinkan bahwa perjuangan Kartini dalam menyuarakan kesetaraan perempuan adalah perjuangan nasional.
Sayangnya, takdir punya rencana lain. Kartini tidak bisa lagi berjuang dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan karena Kartini meninggal dunia di usia 25 tahun. Empat hari setelah melahirkan putra tunggalnya, RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya.
Kematian Kartini cukup mengejutkan karena selama hamil dan melahirkan, Kartini tampak dalam keadaan sehat. Tidak ada yang mengira Kartini akan meninggal di usia muda. Banyak mimpi yang belum tercapai tentunya. Beruntung, 8 tahun kemudian, tepatnya tahun 1912, Sekolah Kartini dibangun oleh Yayasan Kartini di Semarang. Itu adalah keluarga Van Deventer, tokoh Politik Etis saat itu, yang memprakarsai pembangunan sekolah tersebut. Segera konstruksi tersebar di Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa daerah lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia masih banyak kendala dalam mendekati kesetaraan gender, mengapa?
Akibat adanya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, perlindungan hukum yang dirasa kurang, dan adanya budaya (adat) yang bias gender. Contoh ketidakadilan gender atau diskriminasi gender adalah kurangnya pemahaman publik tentang konsekuensi dari sistem struktur sosial di mana satu jenis (laki-laki atau perempuan) menjadi korban.
Kesetaraan gender adalah salah satu hak asasi manusia. Hak untuk hidup terhormat, bebas dari rasa takut dan bebas menentukan pilihan hidup. Tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, pada hakekatnya perempuan juga memiliki hak yang sama.
Kesetaraan gender tidak boleh dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan lebih lanjut. Kesetaraan gender juga bukan berarti segala sesuatu harus mutlak sama dengan laki-laki. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah keputusan untuk dirinya sendiri tanpa harus dibebani dengan konsep gender.
Namun, hingga saat ini perempuan sering dipandang sebagai sosok pelengkap. Ketidakadilan gender ini sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat, bahkan dalam dunia kerja terjadi diskriminasi atau ketidaksetaraan gender dalam berbagai bentuk.
Sebagai generasi terpelajar, mari tegakkan kesetaraan gender dimanapun kita berada. Perempuan bukan hanya tentang sumur atau kasur tapi wanita bisa lebih dari itu. Perempuan berhak mendapatkan apa yang diimpikannya, perempuan bisa menjadi apa saja, bahkan sebagai pemimpin suatu bangsa. Namun jangan lupakan perannya sebagai Al-Madrosatul Ula untuk anak-anaknya dan sebagai istri yang sholeha.
Marilah kita sebagai Kartini muda menyuarakan hak kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi HAM, Kartini modern yang inspiratif, cerdas, kreatif dan inovatif guna mendukung kemajuan bangsa Indonesia di masa depan.
______________________________________________
DIVISI KOMINFO
KABINET CANDRAMAWA
HMPS TIPS UIN SATU TULUNGAGUNG
Komentar
Posting Komentar